![]() |
Karol Teovani Lodan, S.AP, M.AP(Dosen Administrasi Negara Universitas Putera Batam) |
ADA dasarnya setiap manusia
membutuhkan pelayanan, bahkan secara esktrim dapat dikatakan bahwa pelayanan
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Masyarakat setiap waktu selalu
menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari pemerintah, meskipun tuntutan
tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris pelayanan publik
yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit, lambat, dan
melelahkan.
Pelayanan yang terbaik adalah
pelayanan yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan
dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap
kepuasan publik atas pelayanan yang diterima. Dengan demikian dapat kita
katakan bahwa implementasi otonomi daerah memiliki peran yang sangat optimal
bagi pemerintah daerah dalam menciptakan hubungan yang harmonis antara
pemerintah dengan masyarakat. Di era otonomi daerah, fungsi pelayanan publik
menjadi salah satu fokus perhatian dalam peningkatan kinerja instansi
pemerintah daerah untuk lebih mendekatkan fasilitas pelayanan publik pada
masyarakat, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Interelasi antara
aparatur dengan pelayanannya
mengharuskan adanya partisipasi masyarakat sebagai suatu proses
tumbuhnya kesadaran terhadap hubungan diantara para stakeholders yang heterogen
baik kelompok sosial dan komunitas serta pengambil kebijakan.
Osborne dan Plastrik (Sinambela,
2011) mencirikan pemerintahan (birokrat) sebagaimana diharapkan diatas adalah
pemerintahan milik masyarakat, yakni pemerintahan (birokrat) yang mengalihkan
wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan
sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan
adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik karena mereka
akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam
memecahkan masalah. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah komitmen untuk
melayani sehingga pelayanan dapat menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan
masyarakat dan dapat merancang pelayanan yang lebih kreatif serta efisien.
Pentingnya partisipasi masyarakat
dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik juga memperoleh momentum
yang tepat seiring dengan munculnya otonomi daerah di Indonesia yang memberikan
keleluasaan lebih besar kepada daerah untuk merancang dan menentukan sendiri
jenis pelayanan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Posisi strategis
pemerintah daerah sebagai ujung tombak penyedia layanan publik dikemukakan oleh
Rayner (1997): ”One of the functions of local government is to be a forum where
can negotiate their interests, raise concern about matters affecting them and
try to reach a consensus or accommodate the need of other”. (”Salah satu fungsi
penting yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menjadi forum
dimana masyarakat dapat menegosiasikan apa yang menjadi kepentingan mereka,
menyampaikan rasa keprihatinan mengenai masalah-masalah yang menganggu mereka
dan mencari konsensus atau mengakomodasi kepentingan orang lain”). Uraian di
atas terlihat pada gaya kepemimpinan Pak Jokowi dengan model ”blusukan”,
merupakan salah satu cara sederhana yang diterapkannya guna mendekatkan
pemerintah dengan masyarakat.
Model yang dilakukan oleh Pak
Jokowi memunculkan spirit baru dalam kondisi masyarakat yang cenderung apatis
mengenai partisipasi masyarakat. ”Blusukan” ke kampung-kampung untuk mendengarkan
secara langsung mengenai apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat
diajak berbicara mengenai pelayanan apa saja yang dibutuhkan lalu seperti apa
yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Coba kita cermati dikala pak Jokowi sedang
“blusukan”, tidak ada penjagaan ketat, siapapun bisa mendekat dan berjabat
tangan dengan pak Jokowi, entah itu tua, muda, laki atau pun perempuan, senyum
dan tawa khas selalu menyambut jabat tangan yang diulurkan kepadanya.
Model ini menunjukkan adanya
proses negosiasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menyaring dan sekaligus
menata pelayanan publik. Pada akhirnya, dalam model ”blusukan” ini ada pesan
yang ingin disampaikan oleh Pak Jokowi sebagai seorang pemimpin, bahwa
”Masyarakat perlu dihargai sebagai pemilik (owner) pemerintah dan bukan sekedar
sebagai pelanggan (customer) sehingga yang diperlukan adalah berbicaralah dari
dekat dan bukan dari jauh sehingga kita tahu apa yang sebenarnya terjadi”.
Konsep demikian pernah dikemukakan oleh Denhardt dan Denhardt (2003) dalam perspektif ”New Public Service”.
Dimana warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of
government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih
baik.
Kepentingan publik tidak lagi
dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi, melainkan sebagai hasil dialog
dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.
Dengan demikian, pekerjaan administrator publik (pemerintah) tidak lagi
mengarahkan tetapi pelayanan kepada masyarakat. Jika konsisten dengan apa yang
sudah dilakukan oleh Pak Jokowi dan kemudian membuahkan hasil yang memuaskan,
tentu dukungan publik semakin besar terhadap pemerintahan yang dipimpinnya.
Sebagaimana menurut Smith dan
Ingram (1993) bahwa partisipasi publik akan memberikan manfaat bagi pemerintah.
Pemerintah akan menjadi lebih kuat dalam artian ada peningkatan kapasitas
kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik. Peningkatan kapasitas kelembagaan
ini akan berimplikasi pada peningkatan dukungan publik kepada pemerintah,
misalnya melalui pemberian suara pada saat pemilihan umum, manakala masyarakat
melihat pemerintah sebagai sebuah lembaga yang mampu menjamin ataupun
merepresentasikan kepentingan publik.
Namun dalam praktiknya, upaya
untuk melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik bukanlah
sesuatu pekerjaan mudah untuk dilaksanakan. Ada banyak kendala yang berpotensi
menghambat implementasi program partisipasi. Pertama, lemahnya komitmen politik
para pengambil keputusan di daerah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik. Kedua,
Lemahnya dukungan anggaran, agar kegiatan ini dapat dijalankan secara terus
menerus. Ketiga, masyarakat menjadi bersikap apatisme karena selama ini jarang dilibatkan
dalam proses pembuatan kebijakan. Kondisi demikian akan menyulitkan pemerintah
berinisiatif untuk mengajak mereka berpartisipasi. Keempat, Tidak adanya trust
(kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat kehilangan kepercayaan
terhadap pemerintah karena sebelumnya masyarakat hanya dijadikan objek oleh
kebijakan pemerintah.
Upaya melibatkan masyarakat dalam
penyelenggaraan layanan publik tidak mudah dilaksanakan karena untuk membuat
keputusan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat membutuhkan waktu
yang lama, biaya yang tidak sedikit, serta dukungan SDM yang berpengalaman.
Oleh karena itu, jika pemerintah daerah tidak mempunyai komitmen yang kuat
untuk menggalang dukungan partisipasi, maka kegiatan partisipasi hanya akan
dirasakan sebagai masalah, bukan sebagai solusi untuk memecahkan masalah
pemerintah. Jika hal ini yang terjadi, maka partisipasi hanya menjadi momok
yang akan selalu dijauhi oleh pemerintah daerah.
”Menggugat” partisipasi
masyarakat dalam pelayanan publik ini dimaksudkan untuk meyakinkan dan
memberikan spirit bahwa partisipasi masyarakat memiliki posisi strategis dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Dengan adanya partisipasi, masyarakat
menjadi bagian terpenting dalam menyampaikan keluhan, kritik dan saran sehingga
dapat digunakan sebagai sarana perbaikan kualitas pelayanan sedangkan birokrasi
pelayanan didorong untuk menjadikan dirinya lebih terbuka dan terbiasa melalui
proses pembelajaran terhadap kebutuhan pengguna dan lingkungannya. ***